Tuban, Megaposnews.id – Aroma busuk penegakan hukum kembali tercium dari tubuh Polres Tuban. Kali ini, sejumlah oknum Unit Resmob Jatanras diduga bertindak semaunya sendiri, mencederai SOP, dan mempermalukan institusi dengan tindakan yang dinilai lebih mirip gaya preman daripada aparat penegak hukum.
Seorang warga miskin Desa Sidorejo, Kecamatan Kenduruan, Muhari, resmi melaporkan oknum-oknum tersebut ke Propam Polda Jawa Timur. Ia menuntut keadilan atas dugaan salah tangkap, penganiayaan brutal, dan intimidasi terhadap anaknya, Muhammad Rifai alias Radit.
Peristiwa memilukan itu terjadi pada 5 Oktober 2025, dan hingga kini menyisakan luka fisik sekaligus trauma mendalam.
Malam itu, dua mobil Jatanras datang ke rumah Rifai bak operasi penangkapan besar-besaran. Namun ironisnya, tak ada surat tugas, tak ada surat penangkapan, tak ada etika, dan yang paling mencolok: tak ada rasa manusiawi.
Tanpa perkenalan panjang, oknum anggota diduga langsung mencekik dan menjambak penghuni rumah yang dikiranya Rifai. Setelah tahu salah orang, baru dilepas. Betapa ceroboh dan sembrono tindakan itu dilakukan oleh mereka yang seharusnya bekerja berdasarkan kehati-hatian dan prosedur hukum.
Sementara Rifai yang baru bangun menidurkan bayinya langsung diseret keluar rumah, dimasukkan ke dalam mobil, mulut dilakban, dan dihajar sepanjang perjalanan menuju Polsek Kenduruan.
Di Polsek Kenduruan, korban mengaku dihajar rotan dan disulut rokok. Seakan belum puas, korban dipindah ke Polsek Bangilan dan di sana ia mengalami tindakan yang lebih keji.
Mukanya ditutup dengan kain gendongan bayi, lalu disiram air hingga kesulitan bernapas, sementara tangannya diborgol. Tindakan ini nyaris menyerupai teknik penyiksaan yang seharusnya sudah lama mati dalam negara hukum.
Belum berhenti di situ. Di Polres Tuban, Rifai kembali dipaksa mengakui pencurian semangka yang menurutnya tidak pernah dilakukan. Ia dianiaya, ditendang, dipukuli, bahkan kakinya ditumbuk batu. Ketika tetap menolak mengaku, jumlah pukulan justru bertambah.
Korban sempat satu sel dengan tersangka lain, Sanaji, yang menyarankan agar ia mengaku saja jika ingin selamat dari siksaan.
Melihat kondisi korban yang ambruk, barulah Rifai dilarikan ke RSUD Koesma Tuban. Ia dirawat selama tiga hari. Tangan korban membengkak sebesar-besarnya hingga infus tak bisa dipasang, membuat tim medis harus mengambil vena di bagian kaki.
Setelah itu, Rifai dibawa kembali ke Besecam Jatanras menunggu luka-lukanya mengering, sebuah ironi yang membuat publik bertanya, di mana rasa kemanusiaan?
Selang beberapa waktu kemudian, Pada 25 November, pihak RT dihubungi untuk menjemput korban. Alasannya? “Dilepas karena Polres Tuban lagi baik hati.” alasan yang terdengar seperti lelucon pahit yang menusuk akal sehat.
Muhari menegaskan kepada awak media bahwa selama anaknya ditahan, tidak ada satu pun surat yang menjelaskan dasar penangkapan maupun penahanan, tak heran bila dugaan “main tangkap, main siksa, main lepas” menguat.
Keluarga juga mendatangi rumah Sanaji untuk meminta klarifikasi. Secara mengejutkan, Sanaji mengakui bahwa ia menyeret nama Rifai karena unsur dendam lama, bukan fakta hukum.
Muhari menegaskan, ia tidak akan tinggal diam. Laporan kepada Propam Polda Jatim diterbitkan dengan harapan ada tindakan tegas dan transparan.
“Anak saya disiksa, dipermalukan, diperlakukan seperti binatang. Padahal tidak pernah ada bukti dia mencuri semangka,” ujarnya.
Kasus ini kini menjadi sorotan dan ujian serius bagi Polri: apakah aturan masih berlaku, ataukah hukum hanya tajam ke rakyat kecil?
Red…












